Kamis, 07 Februari 2013

TEORI PERKEMBANGAN KOTA



Teori Konsentris (Burgess, 1925)

Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik,  serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
  1.     Zona pusat daerah kegiatan (Central Business District), yang merupakan pusat pertokoan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bank,museumhotelrestoran dan sebagainya.
  2.     Zona peralihan atau zona transisi, merupakan daerah kegiatan. Penduduk zona ini tidak stabil, baik dilihat dari tempat tinggal maupun sosialekonomi. Daerah ini sering ditemui kawasan permukiman kumuh yang disebut slum karena zona ini dihuni penduduk miskin. Namun demikian sebenarnya zona ini merupakan zona pengembangan industri sekaligus menghubungkan antara pusat kota dengan daerah di luarnya.
  3.      Zona permukiman kelas proletar, perumahannya sedikit lebih baik karena dihuni oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah, ditandai oleh adanya rumah-rumah kecil yang kurang menarik dan rumah-rumah susun sederhana yang dihuni oleh keluarga besar. Burgess menamakan daerah ini yaitu working men's homes.
  4.     Zona permukiman kelas menengah (residential zone), merupakan kompleks perumahan para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. Rumah-rumahnya lebih baik dibandingkan kelas proletar.
  5.    Wilayah tempat tinggal masyarakat berpenghasilan tinggi. Ditandai dengan adanya kawasan elit, perumahan dan halaman yang luas. Sebagian penduduk merupakan kaum eksekutif, pengusaha besar, dan pejabat tinggi.
  6.      Zona penglaju (commuters), merupakan daerah yang yang memasuki daerah belakang (hinterland) atau merupakan batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota dan tinggal di pinggiran.


  
Teori Sektoral (Hoyt, 1939)

Dinyatakan bahwa perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter yang dipunyai oleh sector-sektor yang sama terlebih dahulu. Alasan ini terutama didasarkan pada adanya kenyataan bahwa di dalam kota-kota yang besar terdapat variasi sewa tanah atau sewa rumah yang besar. Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai jarak yang sama terhadap DPK akan mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang sama, atau belum tentu semakin jauh letak atau tempat terhadap DPK akan mempunyai nilai sewa yang semakin rendah. Kadang-kadang daerah tertentu dan bahkan sering terjadi bahwa daerah-daerah tertentu yang letaknya lebih dekat dengan DPK mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang lebih rendah daripada daerah yang lebih jauh dari DPK. Keadaan ini sangat banyak dipengaruhi oleh factor transportasi, komunikasi dan segala aspek-aspek yang lainnya.
1.     Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan kontor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
2.     Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan.
3.     Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh.
4.     Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
5.     Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat.


Teori Inti Berganda (Harris dan Ullman, 1945)

Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satugrowing points. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti retailing, distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain. Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.
1.     Pusat kota atau Central Business District (CBD).
2.     Kawasan niaga dan industri ringan.
3.     Kawasan murbawisma atau permukiman kaum buruh.
4.     Kawasan madyawisma atau permukiman kaum pekerja menengah.
5.     Kawasan adiwisma atau permukiman kaum kaya.
6.     Pusat industri berat.
7.     Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran.
8.     Upakota, untuk kawasan mudyawisma dan adiwisma.
9.     Upakota (sub-urban) kawasan industri


Teori Titik Henti (William J. Reilly)

Inti dari teori titik henti ini adalah “jarak titik henti atau titik pisah dari pusat perdagangan yang lebih kecil ukurannya adalah berbanding lurus dengan jarak antara kedua pusat perdagangan itu, dan berbanding terbalik dengan satu di tambah akar kuadrat jumlah penduduk dari kota atau wilayah yang penduduknya lebih besar dibagi dengan jumlah penduduk kota atau wilayah yang lebih sedikit penduduknya.”
Secara sistematis, teori titik henti ini dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan :
DAB = Lokasi titik henti, yang diukur dari kota/wilayah yang jumlah penduduknya lebih kecil 
dAB 
= Jarak kota A dan B 
PA 
  = Jumlah Penduduk kota A yang lebih besar 
PB 
  = Jumlah Penduduk kota B yang lebih kecil 



WIRAUSAHA GAGAL


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Dewasa ini, jarang ditemukan orang yang mencoba untuk memikirkan kembali tentang apa yang menyebabkan usahanya berhasil, yang keseringan didapat hanyalah orang yang sementara bengong memikirkan penyebab kegagalan dalam usahanya, bahkan ada orang yang sampai stress memikirkannya.
Penulis mencoba mengklarifikasi kembali materi Kewirausahaan tentang beberapa hal yang menyangkut wirausaha. Baik dari pengertian wirausaha hingga penyabab keberhasilan dan kegagalan dalam menjalankan usaha. Karena tentu setiap orang yang melakukan usaha pasti menginginkan hasil yang labih atau maksimal, bahasa lainnya adala mengahrapkan keuntungan yang besar.
Dalam makalah ini, banyak hal yang cukup penting diterapkan dalam memulai usaha hingga apa yang kita harapkan dari usaha tersebut bisa terlaksana atau dapat kita raih. Dan kesemuanya itu akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.

B.       Rumusan Masalah 
  1.      Apa pengertian kewirausahaan?
  2.      Apa yang musti dilakukan dalam menjalankan usaha untuk meraih keuntungan yang maksimal?
  3.      Apa factor penyebab kegagalan dalam kewirausahaan?
  4.      Apa contoh wirausaha yang gagal?

  
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian.

Kewirausahaan berasal dari kata wira dan usaha. Wira berarti pejuang, pahlawan, manusia unggul, berbudi luhur, berani dan berwatak agung.
Usaha berarti perbutan amal, berupa sesuatu, bekerja atau berusaha. Jadi wira usaha secara etimologi berarti pejuang yang berbuat sesuatu.
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia itu dikatakan bahwa kewirausahaan adalah:
  1.      Orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru.
  2.      Menentukan cara produksi baru.
  3.      Meyusun operasi untuk mengadakan produk baru.
  4.      Mengatur permodalan operasinya serta memasarkannya.

Wira usaha bisa juga dikatakan semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam mengenali usaha, atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari,menerapkan cara kerja tekhnologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Wira usaha itu mengarah pada orang yang melakukan suatu usaha atau kegiatan sendiri dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Maksudnya orang yang melakukan sesuatu usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri dia harus mengeluarkan segala potensi yang dimilikinya dalam melakukan sesuatu usaha atau kegiatan. Sedangkan kewirausahaaan menunjuk atau mengarah kepada sikap mental yang dimiliki oleh seorang wirausaha didalam melaksanakan suatu usaha atau kegiatan.
Wira usaha adalah seseorang yang bebas dan memiliki kemampuan untuk hidup mandiri dalam menjalangkan usaha atau bisnisnya. Ia bebas merancang, menentukan, mengelolah, mengatur serta mengendalikan semua usahanya.
Kewirausahaan adalah suatu sikap, jiwa dan kemampuan menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain (masyarakat).
Kewirausahaan adalah mental dan jiwa yang aktif serta sikap berusaha meningkatkan hasil karyanya dalam arti meningkatkan penghasilan.
Menurut Robin (1996). Kewirausahaan adalah suatu proses seseorang guna mengejar peluang-peluang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan melalui inovasi tanpa memperhatikan sumber daya yang mereka kendalikan.
Kewirausahaan adalah proses dinamis untuk menciptakan tambahan kemakmuran.
Kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal jasa dan resiko, serta menerima balas jasa, kepuasan dan kebebasan peribadi.

Ada 6 hakikat penting kewirausahaan:
  1. Suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan sebagai dasar, sumber daya, tenaga   penggerak tujuan, siasat kiat proses dan hasil bisnis.
  2. Suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda.
  3. P roses penerapan kreatifitas dalam memecahkan persoalan.
  4. Suatu nilai yang diperlukan untuk start up fase (memulai suatu usaha).
  5. Suatu proses dalam  mengarjakan sesuatu yang baru (creative dan innovative). Suatu yang berbeda dan bermanfaat yang memberikan nilai lebih.
  6. Usaha menciptakan nilai tambah dengan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara yang berbeda untuk memenangkan persaingan.
 B.      Proses Kewirausahaan.

Proses kewirausahaan adalah meliputi semua kegiatan fungsi dan tindakan untuk mengejar dan memanfaatkan peluang dengan menciptakan suatu organisasi.
Ada 4 manfaat kewirausahaan:
  1.      Memperkuat pertumbuhan ekonomi.
  2.      Meningkatkan produktifitas.
  3.       Menciptakan tekhnologi (produk dan jasa baru).
  4.       Mengubah dan meremajakan persaingan pasar.

Ada empat langkah untuk memulai kewirausahaan yaitu:
  1.      Mengenali peluang usaha.
  2.      Optimalisasi potensi diri (memberdayakan kemampuan).
  3.      Fokus dalam bidang usaha.
  4.      Berani memulai.

Optmalisasi potensi diri (kemampuan seseorang) setelah mengenal peluang usaha  maka harus dikombinasikan dengan potensi diri: keunggulan kompetitif (kompetensi bersaing) apa yang saya miliki (apa saja yang sering terjadi pada masyarakat) kita yang trend pada saat itu akan tetapi kalau kita miliki dan membuat inovasi baru maka kita tidak akan sulit bersaing di pasar selain potensi diri dalam arti pengetahuan yang kita miliki maka masih perlu mngoptimalkan aspek motifasi dan kepribadian.
Menurut Peter Ducker, seorang pakar kewirausahaan, mengatakan bahwa, dalam memulai sebuah usaha atau inovasi, maka disaranan berfokus atau memfokuskan memulai dari hal yang terkecil hingga ke yang terbesar berdasarkan dari sumber daya yang dimiliki.
Apabila seseorang ingin membuka usaha, maka pengusaha tersebut harus memfokuskan pada sautu usaha walaupun yang lain ada, dan yang lain dijadikan sebagai penunjang saja.
Berani memulai usaha karena dalam dunia kewirausahaan merupakan sesuatu ketidakpasrian sememntara informasi yang dimiliki oleh orang yang ingin memulai usaha sedikit dikategorikan orang gila dan berani mengambil resiko adalah sangat perlu dilakukan.

C.      Kegagalan Wirausahawan
Beberapa factor penyebab kegagalan wirausaha adalah:
  1.      Kurang ulet dan cepat putus asa, sedangkan kita harus dituntut untuk rajin, tekun, sabar.
  2.      Kurang tekun dan teliti.
  3.      Kurangnya pengawasan.
  4.      Pelayanan yang kurang baik.
  5.      Tidak jujur dan kurang cekatan.
  6.      Kurang inisiatif dan kurang kreatif.
  7.      Kekeliruan dalam memilih lapangan usaha.
  8.      Banyak pemborosan dan penyimpangan.
  9.      Kurang dapat menyesuaikan dengan selera konsumen.
  10.      Sulit memisahkan antara harta pribadi dengan harta perusahaan.
  11.      Mengambil kredit tanpa pertimbangan yang matang.
  12.      Memulai usaha tanpa pengalaman dan modal pinjaman.
  13.      Banyaknya piutang ragu-ragu.

Menurut Zimmerer (dalam Suryana, 2003 : 44-45) ada beberapa faktor yang menyebabkan wirausaha gagal dalam menjalankan usaha barunya:
  1. Tidak kompeten dalam manajerial. Tidak kompeten atau tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan mengelola usaha merupakan faktor penyebab utama yang membuat perusahaan kurang berhasil.
  2. Kurang berpengalaman baik dalam kemampuan mengkoordinasikan, keterampilan mengelola sumber daya manusia, maupun kemampuan mengintegrasikan operasi perusahaan.
  3. Kurang dapat mengendalikan keuangan. Agar perusahaan dapat berhasil dengan baik, faktor yang paling utama dalam keuangan adalah memelihara aliran kas. Mengatur pengeluaran dan penerimaan secara cermat. Kekeliruan memelihara aliran kas menyebabkan operasional perusahan dan mengakibatkan perusahaan tidak lancar.
  4. Gagal dalam perencanaan. Perencanaan merupakan titik awal dari suatu kegiatan, sekali gagal dalam perencanaan maka akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan.
  5. Lokasi yang kurang memadai. Lokasi usaha yang strategis merupakan faktor yang menentukan keberhasilan usaha. Lokasi yang tidak strategis dapat mengakibatkan perusahaan sukar beroperasi karena kurang efisien.
  6. Kurangnya pengawasan peralatan. Pengawasan erat berhubungan dengan efisiensi dan efektivitas. Kurang pengawasan mengakibatkan penggunaan alat tidak efisien dan tidak efektif.
  7. Sikap yang kurang sungguh-sungguh dalam berusaha. Sikap yang setengah-setengah terhadap usaha akan mengakibatkan usaha yang dilakukan menjadi labil dan gagal. Dengan sikap setengah hati, kemungkinan gagal menjadi besar.
  8. Ketidakmampuan dalam melakukan peralihan/transisi kewirausahaan. Wirausaha yang kurang siap menghadapi dan melakukan perubahan, tidak akan menjadi wirausaha yang berhasil. Keberhasilan dalam berwirausaha hanya bisa diperoleh apabila berani mengadakan perubahan dan mampu membuat peralihan setiap waktu.


D.      Contoh Wirausaha yang Gagal

PT. JAMBU BOL
Sejarah singkat
PT Jambu Bol semula bernama Perusahaan Rokok (PR) Djambu Bol. Penulis buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes (2000), Marx Hanusz, mencatat PR Djambu Bol didirikan warga pribumi Kudus, H Roesydi Ma’roef, pada 1937.
Waktu itu buruhnya masih sedikit, sekitar 20 orang, dan hanya memproduksi rokok kelobot, yakni keretek yang dibungkus kulit jagung. Pada masa pendudukan Jepang, 1942, perusahaan itu berhenti berproduksi, tetapi pada 1949 bangkit lagi dengan membuat keretek kertas. Tahun 1952 PR Djambu Bol mampu mengusai 90 persen pasar keretek di Lampung.
Seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan rokok pribumi, termasuk PT Jambu Bol, mulai kalah bersaing dengan perusahaan lain, terutama milik pengusaha China. Mereka kalah dalam hal pemasaran, modal, terutama manajemen perusahaan.
Dari enam perusahaan rokok besar di Kudus, seperti Bal Tiga, Goenoeng & Klapa, Nojorono, Djambu Bol, Djarum, dan Sukun, tinggal satu perusahaan yang dikelola pribumi yang masih berjaya, yaitu Sukun. Bal Tiga, Goenoeng & Klapa, dan Djambu Bol kandas dalam persaingan.
Penulis buku Religion, Politics and Economic Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry, Lance Castles, menyebutkan, faktor kuat yang menyebabkan kegagalan pengusaha-pengusaha pribumi adalah manajemen. Mereka mengelola perusahaan berbasis keluarga sehingga selalu muncul perselisihan internal tentang warisan. Hal itu berbeda dengan pengusaha-pengusaha China yang meski masih berupa usaha keluarga mereka mau memakai bentuk-bentuk korporasi.
Kepala Seksi Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Kudus Suntoro mengatakan, PT Jambu Bol bangkrut karena manajemen perusahaan tidak dikelola secara baik. Aset-asetnya yang semula satu telah terbagi menjadi beberapa kepemilikan keluarga pendiri Jambu Bol, Roesydi Ma’roef.
Dasumsikan pabrik rokok kretek non-filter itu, masih bisa bangkit untuk berproduksi kembali. Tapi asumsi itu diragukan bisa jadi kenyataan sebab situasi/kondisinya bertolak belakang dengan faktanya.
Sekitar lima tahun ini pabrik rokok Jambu Bol tidak berproduksi menyusul kian merosotnya pemasaran rokok ini yang hampir seluruhnya di lempar keluar Jawa. Bersamaan dengan itu ribuan buruh pabrik pelinting rokok, dirumahkan dengan status tidak jelas sampai sekarang.
Setelah para buruh berulang-kali demo minta kejelasan nasibnya, pihak manajemen Jambu Bol buka diri menyatakan pabrik tidak mampu lagi melanjutkan usaha. Para buruh dijanjikan, masing-masing akan diberi pesangon. Janji itu telah berjalan bertahun-tahun, namun tidak pernah terealisasikan.
Tahun ini berkali-kali para buruh melancarkan demo menuntut janji menejemen. Malah dengan memblokir jalan pantura yang membentang di depan pabrik, tiap didemo menejemen selalu berkilah, pesangon akan diberikan setelah aset-aset Jambu Bol terjual. Tapi kapan aset itu terjual, tak pernah ada kepastiannya.
Setiap anggota keluarga mempunyai hak atas aset itu sehingga jika mau menjual harus berdasarkan persetujuan bersama. Tidak mengherankan jika proses penjualan aset itu berjalan lama.
Hal itu diakui Direktur Utama PT Jambu Bol pada Februari 2011. Dia menyatakan akan memenuhi hak-hak buruh, tetapi harus menunggu aset PR Jambu Bol terjual. Saat ini aset belum terjual karena persoalan internal.
”Kami sulit mengintervensi masalah itu karena merupakan persoalan internal keluarga. Kami hanya sebatas memediasi dan menyarankan agar dirampungkan melalui penyelesaian perselisihan hubungan industrial,” kata Suntoro.
Pemerintah Kabupaten Kudus memang telah beberapa kali memfasilitasi penyelesaian konflik hubungan industrial antara perusahaan dan 3.400 buruh PT Jambu Bol. Namun, hasilnya hanya terangkum di atas kertas dan tidak pernah terealisasi. Kesannya, pemerintah sepertinya hendak lepas tangan.
”Kami sudah berupaya. Kini tinggal menunggu niat baik perusahaan saja,” kata Bupati Kudus Musthofa.
Padahal, di sisi lain, buruh berupaya berjuang dengan melawan secara hukum, yaitu melaporkan PT Jambu Bol ke Kepolisian Resor Kudus dengan berkas laporan Nomor LP/193/VII/2011/Jateng/Res Kudus. Dalam laporan itu, para buruh menilai PT Jambu Bol menipu dan ingkar janji karena tidak segera membayarkan hak-hak buruh. Materi laporan itu adalah adanya dugaan penipuan masalah program tali asih pengunduran diri dan pembayaran hak normatif buruh oleh PT Jambu Bol.
Secara terpisah, peneliti Lembaga Kajian Sosial dan Budaya Sumur Tolak Kudus, Zamhuri, menilai pemerintah lamban dan kurang tegas dalam merampungkan persoalan buruh PT Jambu Bol. Persoalan itu semakin panjang dan sudah menjadi keresahan sosial bersama atau masuk ke dalam ranah publik.
”Jika sudah telanjur seperti ini, pemerintah harus memfasilitasi buruh memailitkan PT Jambu Bol melalui pengadilan niaga,” ujarnya (HENDRIYO WIDI)
  

BAB III
PENUTUP 
       A.    Kesimpulan
Kewirausahaan berasal dari kata wira dan usaha. Wira berarti pejuang, pahlawan, manusia unggul, berbudi luhur, berani dan berwatak agung. Di dalam kamus besar bahasa Indonesia itu dikatakan bahwa kewirausahaan adalah:
  1.    Orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru.
  2.    Menentukan cara produksi baru.
  3.    Meyusun operasi untuk mengadakan produk baru.
  4.    Mengatur permodalan operasinya serta memasarkannya.
Ada 4 manfaat kewirausahaan:
  1.    Memperkuat pertumbuhan ekonomi.
  2.    Meningkatkan produktifitas.
  3.    Menciptakan tekhnologi (produk dan jasa baru).
  4.    Mengubah dan meremajakan persaingan pasar.
Ada empat langkah untuk memulai kewirausahaan yaitu:
  1.         Mengenali peluang usaha.
  2.         Optimalisasi potensi diri (memberdayakan kemampuan).
  3.         Fokus dalam bidang usaha.
  4.         Berani memulai.

Beberapa factor penyebab kegagalan wirausaha adalah:
  1.      Kurang ulet dan cepat putus asa, sedangkan kita harus dituntut untuk rajin, tekun, sabar.
  2.       Kurang tekun dan teliti.
  3.       Kurangnya pengawasan.
  4.       Pelayanan yang kurang baik.
  5.       Tidak jujur dan kurang cekatan.
  6.       Kurang inisiatif dan kurang kreatif.
  7.       Kekeliruan dalam memilih lapangan usaha.
  8.       Banyak pemborosan dan penyimpangan.
  9.       Kurang dapat menyesuaikan dengan selera konsumen.
  10.       Sulit memisahkan antara harta pribadi dengan harta perusahaan.
  11.       Mengambil kredit tanpa pertimbangan yang matang.
  12.       Memulai usaha tanpa pengalaman dan modal pinjaman.
  13.       Banyaknya piutang ragu-ragu.

Salah satu conoh wirausaha yang gagal adalah PR. JAMBU BOL. PT Jambu Bol semula bernama Perusahaan Rokok (PR) Djambu Bol. Penulis buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes (2000), Marx Hanusz, mencatat PR Djambu Bol didirikan warga pribumi Kudus, H Roesydi Ma’roef, pada 1937.
Seiring dengan berjalannya waktu, perusahaan rokok pribumi, termasuk PT Jambu Bol, mulai kalah bersaing dengan perusahaan lain, terutama milik pengusaha China. Mereka kalah dalam hal pemasaran, modal, terutama manajemen perusahaan.
Menurut Kepala Seksi Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Kudus Suntoro mengatakan, PT Jambu Bol bangkrut karena manajemen perusahaan tidak dikelola secara baik. Aset-asetnya yang semula satu telah terbagi menjadi beberapa kepemilikan keluarga pendiri Jambu Bol, Roesydi Ma’roef.